Tak terasa Doni kini sudah kelas 3 Madrasa Aliyah atau setingkat
SMU. Ruli kelas 1 SMU dan Rini kelas 2 SLP. Suamiku tidak pernah bertanya soal
Raport sekolahnya. Tapi aku tahu raport sekolahnya tak begitu bagus tapi juga
tidak begitu buruk. Bila liburan Doni pulang kerumah, Doni lebih banyak diam.
Dia makan tak pernah berlebihan dan tak pernah bersuara selagi makan sementara
adiknya bercerita banyak soal disekolah dan suamiku menanggapi dengan tangkas
untuk mencerahkan. Walau dia satu kamar dengan adiknya namun kamar itu selalu
dibersihkannya setelah bangun tidur. Tengah malam dia bangun dan sholat tahajud
dan berzikir sampai sholat subuh.
Ku purhatikan tahun demi tahu
perubahan Doni setelah mondok. Dia berubah dan berbeda dengan adik adiknya. Dia
sangat mandiri dan hemat berbicara. Setiap hendak pergi keluar rumah, dia
selalu mencium tanganku dan setelah itu memelukku. Beda sekali dengan adik
adiknya yang serba cuek dengan gaya hidup modern didikan suamiku.
Setamat Madrasa Aliyah, Doni
kembali tinggal dirumah. Suamiku tidak menyuruhnya melanjutkan ke Universitas.
“ Nilai rapor dan kemampuannya tak bisa masuk universitas. Sudahlah. Aku tidak
bisa mikir soal masa depan dia. Kalau dipaksa juga masuk universitas akan
menambah beban mentalnya. “ Demikian alasan suamiku. Aku dapat memaklumi itu.
Namun suamiku tak pernah berpikir apa yang harus diperbuat Doni setelah lulus
dari pondok. Donipun tidak pernah bertanya. Dia hanya menanti dengan sabar.
Selama setahun setelah Doni
tamat dari mondok, waktunya lebih banyak di habiskan di Masjid. Dia terpilih
sebagai ketua Remaja Islam Masjid. Doni tidak memilih Masjid yang berada di
komplek kami tapi dia memilih masjid diperkampungan yang berada dibelakang
komplek. Mungkin karena inilah suamiku semakin kesal dengan Doni karena dia
bergaul dengan orang kebanyakan. Suamiku sangat menjaga reputasinya dan tak
ingin sedikitpun tercemar. Mungkin karena dia malu dengan cemoohan dari
tetangga maka dia kadang marah tanpa alasan yang jelas kepada Doni. Tapi Doni
tetap diam. Tak sedikitpun dia membela diri.
Suatu hari yang tak pernah
kulupakan adalah ketika polisi datang kerumahku. Polisi mencurigai Doni dan
teman temannya mencuri di rumah yang ada di komplek kami. Aku tersentak. Benarkah
itu. Doni sujud dikaki ku sambil berkata “ Doni tidak mencuri , Bunda. TIdak,
Bunda percayakan dengan Doni. Kami memang sering menghabiskan malam di masjid
tapi tidak pernah keluar untuk mencuri.” Aku meraung ketika Doni dibawa
kekantor polisi. Suamiku dengan segala daya dan upaya membela Doni.
Alhamdulilah Doni dan teman temannya terbebaskan dari tuntutan itu. Karena
memang tidak ada bukti sama sekali. Mungkin ini akibat kekesalan penghuni
komplek oleh ulah Doni dan kawan kawan yang selalu berzikir dimalam hari dan
menggangu ketenangan tidur.
Tapi akibat kejadian itu ,
suamiku mengusir Doni dari rumah. Doni tidak protes. Dia hanya diam dan
menerima keputusan itu. Sebelum pergi dia rangkul aku” Bunda , Maafkanku. Doni
belum bisa berbuat apapun untuk membahagiakan bunda dan Ayah. Maafkan Doni “
Pesanya. Diapun memandang adiknya satu satu. Dia peluk mereka satu persatu “
Jaga bunda ya. Mulailah sholat dan jangan tinggalkan sholat. Kalian sudah besar
.” demikian pesan Doni. Suamiku nampak tegar dengan sikapnya untuk mengusir
DOni dari rumah.
“ Mas, Dimana Doni akan
tinggal. “ Kataku dengan batas kekuatan terakhirku membela Doni.
“ Itu bukan urusanku. Dia sudah
dewasa. Dia harus belajar bertanggung jawab dengan hidupnya sendiri.
Baca Juga:
- Jangan Membandingkan Anak - Anakmu Dengan Saudara - Saudaranya !! (HAL. 1)
- Jangan Membandingkan Anak - Anakmu Dengan Saudara - Saudaranya !! (HAL. 2)
- Jangan Membandingkan Anak - Anakmu Dengan Saudara - Saudaranya !! (HAL. 4)
No comments: