Doni adalah putra tertua kami. Dia lahir memang ketika keadaan
keluarga kami sadang sulit. Suamiku ketika itu masih kuliah dan bekerja
serabutan untuk membiayai kuliah dan rumah tangga. Ketika itulah aku hamil
Doni. Mungkin karena kurang gizi selama kehamilan tidak membuat janinku tumbuh
dengan sempurna. Kemudian , ketika Doni lahir kehidupan kami masih sangat
sederhana. Masa balita Doni pun tidak sebaik anak anak lain. Diapun kurang
gizi. Tapi ketika usianya dua tahun, kehidupan kami mulai membaik seiring
usainya kuliah suamiku dan mendapatkan karir yang bagus di BUMN. Setelah itu
aku kembali hamil dan Ruli lahir., juga laki laki dan dua tahu setelah itu, Rini
lahir, adik perempuannya. Kedua putra putriku yang lahir setelah Doni
mendapatkan lingkungan yang baik dan gizi yang baik pula. Makanya mereka
disekolah pintar pintar. Makanya aku tahu betul bahwa kemajuan generasi
ditentukan oleh ketersediaan gixi yang cukup dan lingkungan yang baik.
Tapi keadaan ini tidak pernah
mau diterima oleh Suamiku. Dia punya standard yang tinggi terhadap anak
anaknya. Dia ingin semua anaknya seperti dia. Pintar dan cerdas. “ Masalah Doni
bukannya dia tolol, Tapi dia malas. Itu saja. “ Kata suamiku berkali kali.
Seakan dia ingin menepis tesis tentang ketersediaan gizi sebagai pendukung anak
jadi cerdas. “ Aku ini dari keluarga miskin. Manapula aku ada gizi cukup. Mana
pula orang tuaku ngerti soal gixi. Tapi nyatanya aku berhasil. “ Aku tak bisa
berkata banyak untuk mempertahankan tesisku itu.
Seminggu setelah itu, suamiku
memutuskan untuk mengirim Doni kepesantren. AKu tersentak.
“ Apa alasan Mas mengirim Doni
ke Pondok Pesantren “
“ Biar dia bisa dididik dengan
benar”
“ Apakah dirumah dia tidak
mendapatkan itu”
“ Ini sudah keputusanku, Titik.
“ tapi kenapa , Mas” AKu
berusaha ingin tahu alasan dibalik itu.
Suamiku hanya diam. Aku tahu
alasannya.Dia tidak ingin ada pengaruh buruk kepada kedua putra putri kami. Dia
malu dengan tidak naik kelasnya Doni. Suamiku ingin memisahkan Doni dari adik
adiknya agar jelas mana yang bisa diandalkannya dan mana yang harus dibuangnya.
Mungkinkah itu alasannya. Bagaimanapun , bagiku Doni akan tetap putraku dan aku
akan selalu ada untuknya. Aku tak berdaya. Suamiku terlalu pintar bila diajak
berdebat.
Ketika Doni mengetahui dia akan
dikirim ke Pondok Pesantren, dia memandangku. Dia nanpak bingung. Dia terlalu
dekat denganku dan tak ingin berpisah dariku.
Dia peluk aku “ Doni engga mau
jauh jauh dari bunda” Katanya.
Tapi seketika itu juga suamiku
membentaknya “ Kamu ini laki laki. TIdak boleh cengeng. Tidak boleh hidup
dibawah ketika ibumu. Ngerti. Kamu harus ikut kata Ayah. Besok Ayah akan urus
kepindahan kamu ke Pondok Pesantren. “
Setelah Doni berada di Pondok
Pesantren setiap hari aku merindukan buah hatiku. Tapi suamiku nampak tidak
peduli. “ Kamu tidak boleh mengunjunginya di pondok. Dia harus diajarkan
mandiri. Tunggu saja kalau liburan dia akan pulang” Kata suamiku tegas seakan
membaca kerinduanku untuk mengunjungi Doni.
Baca Juga :
- Jangan Membandingkan Anak - Anakmu Dengan Saudara - Saudaranya !! (HAL. 1)
- Jangan Membandingkan Anak - Anakmu Dengan Saudara - Saudaranya !! (HAL. 3)
- Jangan Membandingkan Anak - Anakmu Dengan Saudara - Saudaranya !! (HAL. 4)
No comments: